Langsung ke konten utama

Postingan

Sin : Seribu Ibu di Kepala

Sin 1 Itu adalah sebuah kota kecil yang tenang, sepi, disebutnya sebagai hati. Kota itu didatanginya empat puluh hari yang lalu, dengan membawa sekotak ingatan tentang : kursi dan meja kayu di sebuah pengadilan, bunyi bel sebuah kindergarten yang melepaskan seribu senyum balita, dan sampul coklat berisi surat kematian seseorang. Ia memasukkan kotak itu ke dalam sebuah laci di rumah barunya ; di kota itu, yang sepi, yang masih penuh dengan lahan kosong, hutan, lembah, sawah, dua puluh akasia di pekarangan , pagar bambu, dan kursi rotan di serambi, menghadap ke arah gunung mati di ujung hutan. Rumah barunya tak kalah hening dari kota itu, tak kalah kecil dari hatinya, tapi disana duduk seorang perempuan yang terus berbicara padanya. Perempuan itu tidak benar-benar ada, tapi suaranya memenuhi seluruh sudut rumah. Suara itu begitu dikenalnya, seperti menyeruak dari balik sampul coklat yang berisi surat kematian, yang disimpannya di salah satu laci lemari, salah satu pusara paling hening,

La Liv Li : Sebuah Upaya Menjadi Kritikus Lagu, tapi Labil

Saya sudah lama sekali tidak membaca buku, hampir satu bulan. rindu. eh kok, seperti kasmaran. skip: jadi memang tidak membaca itu membuat saya rindu. semacam rindu terombang-ambing dalam alur cerita yang berombak, tokoh-tokoh yang dingin, dan cinta yang tak sampai.  eh, ngomong-ngomong tentang cinta tak sampai, seminggu ini saya sedang kecanduan sekali dengan salah satu lagu dari musisi ternama Indonesia: ya saya masih mengakui beliau musisi ternama, meskipun kadang beberapa skandalnya bikin tepok jidat, siapa? Ahmad Dhani. Ya, jadi saya sedang suka sekali dengan salah satu lagunya yang di aransemen ulang, dinyanyikan oleh penyanyi perempuan berhijab, Hanin Dhiya. Mohon ijin komentar : meskipun saya tidak suka-suka amat sama suaranya mbak ini, tapi tetap saja saya jatuh cinta dengan lagunya, apa? Roman Picisan. Sejak pertama kali lagu ini rilis, sampe dinyanyikan mahadewi, dan sekarang di aransemen lagi dengan versi lain, saya tetap suka. Sama lagu saja saya setia, apalagi sama orang.

Apresiasi Diri (Self Reward)

Self Reward Saya kadang berpikir kenapa harus memberikan penghargaan pada diri sendiri? Apakah itu penting? Apakah membantu? Apakah berpengaruh? Sementara kepala saya selama ini terlanjur percaya bahwa penghargaan itu akan lebih baik jika diberikan oleh orang lain. Sebab orang lain tentu punya standar dan validasinya masing-masing dalam memberikan apresiasi. Dan bukankah standar dan validasi itu yang akhirnya menjadikan penghargaan itu 'berharga'? Untuk diri saya, Kira-kira begitu.  Tapi ternyata saya salah. Saya tidak harus menunggu orang lain mengapresiasi pencapaian saya; untuk memberi selamat atas segala cerita sukses yang saya raih, untuk hal-hal sederhana yang saya selesaikan. Sebab orang lain tidak selalu memahami setiap usaha yang saya lalui, tidak selalu mengerti proses yang saya lewati. Itu kenapa ketika saya menunggu orang lain untuk mengapresiasi, sama saja dengan menunggu ketidakpastian. Sebab kebanyakan orang hanya melihat hasil, bukan proses. Bisa jadi, apresiasi

Flaneur ; itu apa???

Baru-baru ini saya menghubungi seseorang yang saya kagumi -tulisan-tulisannya, melalui sebuah pesan pribadi di instagram. Keberanian itu, atau malah kenekatan itu lahir dari sebuah rasa penasaran atas sebuah pertanyaan sederhana, 'apa itu flaneur?' yang membuat saya, katakanlah kecanduan akut dengan model tulisan semacam itu -dan baper. Konteks baper disini malah bukan lagi seperti bapernya saya pada lagu india, ini jauh lebih luas, melebihi luasnya bumi, planet-planet, jagat raya. Wah, luas sekali dong.  Sebelumnya, dengan 'kecanduan' saya ini, saya sering merasa sedih kepada diri sendiri. Nah, perasaan sedih ini tidak lahir karena baper tadi ya, tapi cenderung kepada 'kenapa ketertarikan saya malah membaca flaneur, sementara orang lain dengan profesi yang sama seperti saya menghabiskan banyak waktunya untuk mengikuti webinar, diklat daring, dan segala jenis pelatihan digital yang punya poin dalam per-skp-an .' nah saya? malah terbuai dalam rangkaian konsep per

Flaneur : La educacion es Libertad

Saya hampir tidak pernah merayakan ulang tahun, bahkan cenderung berpikir bahwa hari ulang tahun bukanlah hal yang perlu diingat, apalagi dirayakan. Menurut saya, mengingat hari ulang tahun sama halnya dengan mengingat hari dimana saya semakin tua, diiringi sebuah ketidakyakinan tentang apakah saya sudah semakin dewasa? Atau malah semakin kekanak-kanakan.  Hal ini lantas membuat saya menyimpulkan bahwa mengingat hari ulang tahun merupakan sesuatu yang tidak penting-penting amat, sebab tidak ada yang penting dari bertambah umur, tanpa bertambah baik.  Age is something that doesn't matter, unless you are a cheese. Salah satu kalimat yang begitu saya sukai dari Luis Bunuel. Menggambarkan kesederhanaan berpikir tentang umur. Bahwa, umur bukanlah sesuatu yang penting, kecuali kamu (maksudnya saya) adalah keju. Keju semakin tua memang semakin bagus, semakin mahal, tapi kalau saya? sepertinya hanya semakin tua saja. Kira kira begitu. 25 Juli 2021 Saya tepat berusia 29 tahun. Secara sadar

mo chuilse

seperti raksa, itu membakar; membuatnya mengerti, mungkin sekaligus jera. bahwa tidak baik berilusi; dengan hal-hal yang nyata, misalnya dengan manusia. ... Lucunya dia selalu salah tempat, waktu, dan orang untuk sekadar suka, atau barangkali dia telah jatuh cinta, lagi, kesekian kali, dengan mudah, barangkali sulit untuknya, atau, lagi, orang yang tepat terlalu bodoh untuk membuatnya jatuh cinta, dan gejalanya begitu, begitu saja, ia mulai suka mendengarkan lagu-lagu melankolis, membaca buku cinta-cintaan, dan kembali membuka quora untuk membaca jawaban yang serius dari pertanyaan sederhana, untuk apa? untuk membuat jawaban-jawaban baru yang akan mengalihkan perasaannya, pada apa? tawa yang palsu. Dia bilang, itu intelegensi. "Kau tau Musèe du Louvre ?" tanyanya.  "Tidak." "Ya seperti perasaanku, kau juga tidak tahu." "Memang seperti apa?" "Itu seperti api. Kalau aku buka, ia membakar." "Lalu kalau kau tutup?" "Aku yang

Apel dan Pluto : Dendamnya yang Barbar

Racun baginya seperti obat, ramu yang mampu membuatnya jaga, dan kembali menuang luka lewat tangannya yang cacat. katanya, orang-orang bisa berubah, tapi tidak dengan masa lalu. membuangnya atau mengambilnya kembali adalah sebuah pilihan, akan menjadi bijak atau picik. kukira dia sudah terlalu sibuk dengan berita-berita masyhur yang muncul di radarnya, tentang seseorang yang belum jadi orang, tapi pagi ini telah memberi kabar, 'aku telah sebesar buah apel'. sejenak membuat ia tersenyum, melupakan air mata yang semalaman badai, dan darah yang pagi tadi masih segar, setelah ia ditusuk prasangka. Agaknya aku terlalu tanggung memilih narasi, membuat maknanya jadi dangkal. Ada di permukaan. Selebihnya, asal ia tak tau dan tidak peduli, aku masih merasa aman. Di bawah jamur yang payung, memekar teduh yang berdikari. Rasanya menakjubkan punya ruang untuk mengambil tempat duduk sebagai orang yang menceritakannya, membicarakannya. sebesar buah apel yang ditungguinya, sejak pertama